Danau Maninjau di
Kabupaten Agam, Sumatra Barat, tak cuma terkenal indah oleh panoramanya,
melainkan juga sejumlah tokohnya. Dari sini lahir ulama dan sastrawan Buya
HAMKA dan Dr. Mohammad Natsir, ulama dan politisi pendiri Partai Masyumi
yang pernah menjabat sebagai Perdana Mentri RI. Di abad milenium ini,
muncul pula Prof Dr. Rahmiana Zein, 46 tahun, penemu teknik kromatografi
tercepat di dunia.
Keberhasilan ini
diperoleh istri Prof. Dr. Edison Munaf, Pembantu Rektor II Universitas
Andalas itu saat penelitian untuk disertasi doktor bidang kimia dibawah
bimbingan Prof. Toyohide Takeuchi, di Universitas Gipu, Jepang pada 1998.
Kromatografi memang bukan ilmu baru. Pemisahan senyawa kimia memanfaatkan
interaksi antara pelarut, sampel yang akan dipisahkan, fase diam (stationary
phase) dan fase bergerak (mobile phase) ini telah berkembang seabad silam.
Setelah T. Swett berhasil memisahkan zat warna dedaunan tahun 1903.
“Pisau
pembedah” senyawa kimia yang cepat dan simultan ini terus berkembang
ke bidang lain. Terutama ilmu kedokteran, pertanian, peternakan, biologi
dan lingkungan. Izmailov dan Schaiber misalnya, pada 1938 menggunakan
teknik ini untuk memisahkan senyawa lapisan tipis. Lalu Martin dan James,
tahun 1952, memakainya untuk membedah senyawa gas. Namun jika sebelumnya
para peneliti perlu waktu antara 1.000 dan 100 menit, adik kandung Mayor
Jendral (purnawirawan) Kivlan Zein itu hanya butuh 10 menit!
Teknik ini terus
berkembang dan kian populer berkat ditemukannya teknik HPLC (high
performance liquid chromatography). Teknik pemisahan cairan dalam kecepatan
tinggi dengan fase diam berukuran terkecil 10 mikrometer. Bahkan Dido
Ishii, guru besar emeritus Universitas Nagoya memperkecil kolom mikro
menjadi 0,5 milimeter. Sejak 1980-an, dikembangkan jadi 0,2 milimeter dan panjang
10 sentimeter. Oleh Rahmi, begitu ibu tiga anak ini biasa disapa, kolom itu
diperkecil lagi jadi 5 mikrometer, panjang 10 sentimeter dan kedalaman 0,35
milimeter. Dengan bejana itu, screening serum sapi yang ditelitinya dapat
didiagnosis kurang dari 10 menit. Cara yang sama ia lakukan untuk
mengetahui kandungan yang terdapat dalam urin, air ludah, darah dan air
sungai. Bahkan untuk diagnosis senyawa kanker jenis poliaromatik
hidrokarbon (PAH), pencemaran akibat bahan bakar minyak atau asap rokok.
Wanita berkulit hitam
manis ini dikukuhkan jadi guru besar pada Agustus 2003. Dengan teorinya,
Rahmi menjawab teka-teki bagaimana Allah menciptakan Nabi Adam dan Hawa
dari tanah sehingga jadi manusia. Katanya, Nabi Adam dan Hawa memang
diciptakan dari tanah yang mengandung zat kimia, diantaranya protein. Lalu,
sesuai kaidah kromatografi, protein itu berproses sehingga jadi fisik
manusia. Kini makanan di tubuh manusia pun mengalami proses kromatografis.
Lalu dihasilkan ion-ion yang berguna bagi tubuh dan sisanya terbuang
melalui urin dan feses. Artinya, kehidupan sehari-hari mengikuti kaidah
kromatologi. Bahkan penderita kelainan ginjal menjalani proses cuci darah
mengikuti teknik ini.
Rahmi tak mematenkan
hasil penelitiannya karena diburu tenggat studi. Ia harus mempublikasikan
hasil penelitiannya di beberapa media internasional. Akibatnya, hak untuk
mempatenkan temuan itu pun hilang. Toh, ia bangga, hasil penelitiannya
terus dimanfaatkan oleh para peneliti. Tahun lalu misalnya, seorang
peneliti dari Amerika yang merujuk teorinya berhasil memperbaiki
sensitifitas dan resolusi kecepatan diagnosis delapan jenis anion secara
serentak dalam waktu semenit.
Namun ia menyayangkan,
dikala diagnosis pencemaran lingkungan kini kian murah dan cepat, Rp
5.000,- per 10 ion, banyak kasus lingkungan di Tanah Air belum diteliti.
Misalnya limbah rumah sakit yang mengandung racun phenol, pembersih
alat-alat kedokteran, dibiarkan mengalir ke sungai-sungai di perkotaan.
“Yang belum ada cuma kesamaan sikap pemerintah dan pengusaha industri
untuk menanggulangi pencemaran itu”, katanya.
Rahmi, kini Kepala
Laboratorium Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Andalas, terus berkarya. Lebih dari 10 jenis tanaman alam
diolahnya jadi alat netralisasi zat kimia. Di antaranya dari kulit manggis,
ampas tebu dan sabut kelapa sawit. Ia juga menulis artikel bidang
kromatografi di media internasional. Misalnya di jurnal Analytica Chimica
Acta, Chromatographia dan Environmental Technology. “Biarlah tak
dipatenkan. Tujuan ilmu itu adalah kebaikan bagi manusia. Dan saya
berharap, Allah menerima jadi amal jarizah saya”, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar