Jumat, 19 Juli 2013

RAHMIANA ZEIN


Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, tak cuma terkenal indah oleh panoramanya, melainkan juga sejumlah tokohnya. Dari sini lahir ulama dan sastrawan Buya HAMKA dan Dr. Mohammad Natsir, ulama dan politisi pendiri Partai Masyumi yang pernah menjabat sebagai Perdana Mentri RI. Di abad milenium ini, muncul pula Prof Dr. Rahmiana Zein, 46 tahun, penemu teknik kromatografi tercepat di dunia.

Keberhasilan ini diperoleh istri Prof. Dr. Edison Munaf, Pembantu Rektor II Universitas Andalas itu saat penelitian untuk disertasi doktor bidang kimia dibawah bimbingan Prof. Toyohide Takeuchi, di Universitas Gipu, Jepang pada 1998. Kromatografi memang bukan ilmu baru. Pemisahan senyawa kimia memanfaatkan interaksi antara pelarut, sampel yang akan dipisahkan, fase diam (stationary phase) dan fase bergerak (mobile phase) ini telah berkembang seabad silam. Setelah T. Swett berhasil memisahkan zat warna dedaunan tahun 1903.


“Pisau pembedah” senyawa kimia yang cepat dan simultan ini terus berkembang ke bidang lain. Terutama ilmu kedokteran, pertanian, peternakan, biologi dan lingkungan. Izmailov dan Schaiber misalnya, pada 1938 menggunakan teknik ini untuk memisahkan senyawa lapisan tipis. Lalu Martin dan James, tahun 1952, memakainya untuk membedah senyawa gas. Namun jika sebelumnya para peneliti perlu waktu antara 1.000 dan 100 menit, adik kandung Mayor Jendral (purnawirawan) Kivlan Zein itu hanya butuh 10 menit!

Teknik ini terus berkembang dan kian populer berkat ditemukannya teknik HPLC (high performance liquid chromatography). Teknik pemisahan cairan dalam kecepatan tinggi dengan fase diam berukuran terkecil 10 mikrometer. Bahkan Dido Ishii, guru besar emeritus Universitas Nagoya memperkecil kolom mikro menjadi 0,5 milimeter. Sejak 1980-an, dikembangkan jadi 0,2 milimeter dan panjang 10 sentimeter. Oleh Rahmi, begitu ibu tiga anak ini biasa disapa, kolom itu diperkecil lagi jadi 5 mikrometer, panjang 10 sentimeter dan kedalaman 0,35 milimeter. Dengan bejana itu, screening serum sapi yang ditelitinya dapat didiagnosis kurang dari 10 menit. Cara yang sama ia lakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam urin, air ludah, darah dan air sungai. Bahkan untuk diagnosis senyawa kanker jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH), pencemaran akibat bahan bakar minyak atau asap rokok.

Wanita berkulit hitam manis ini dikukuhkan jadi guru besar pada Agustus 2003. Dengan teorinya, Rahmi menjawab teka-teki bagaimana Allah menciptakan Nabi Adam dan Hawa dari tanah sehingga jadi manusia. Katanya, Nabi Adam dan Hawa memang diciptakan dari tanah yang mengandung zat kimia, diantaranya protein. Lalu, sesuai kaidah kromatografi, protein itu berproses sehingga jadi fisik manusia. Kini makanan di tubuh manusia pun mengalami proses kromatografis. Lalu dihasilkan ion-ion yang berguna bagi tubuh dan sisanya terbuang melalui urin dan feses. Artinya, kehidupan sehari-hari mengikuti kaidah kromatologi. Bahkan penderita kelainan ginjal menjalani proses cuci darah mengikuti teknik ini.

Rahmi tak mematenkan hasil penelitiannya karena diburu tenggat studi. Ia harus mempublikasikan hasil penelitiannya di beberapa media internasional. Akibatnya, hak untuk mempatenkan temuan itu pun hilang. Toh, ia bangga, hasil penelitiannya terus dimanfaatkan oleh para peneliti. Tahun lalu misalnya, seorang peneliti dari Amerika yang merujuk teorinya berhasil memperbaiki sensitifitas dan resolusi kecepatan diagnosis delapan jenis anion secara serentak dalam waktu semenit.

Namun ia menyayangkan, dikala diagnosis pencemaran lingkungan kini kian murah dan cepat, Rp 5.000,- per 10 ion, banyak kasus lingkungan di Tanah Air belum diteliti. Misalnya limbah rumah sakit yang mengandung racun phenol, pembersih alat-alat kedokteran, dibiarkan mengalir ke sungai-sungai di perkotaan. “Yang belum ada cuma kesamaan sikap pemerintah dan pengusaha industri untuk menanggulangi pencemaran itu”, katanya.

Rahmi, kini Kepala Laboratorium Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, terus berkarya. Lebih dari 10 jenis tanaman alam diolahnya jadi alat netralisasi zat kimia. Di antaranya dari kulit manggis, ampas tebu dan sabut kelapa sawit. Ia juga menulis artikel bidang kromatografi di media internasional. Misalnya di jurnal Analytica Chimica Acta, Chromatographia dan Environmental Technology. “Biarlah tak dipatenkan. Tujuan ilmu itu adalah kebaikan bagi manusia. Dan saya berharap, Allah menerima jadi amal jarizah saya”, katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar